Posts

Minat itu harus dilatih

Image
Percayalah selalu bahwa sesuatu yang kau suka dan kau lakukan berulang-ulang akan membuatmu terbiasa dan bisa. Masalahnya hanya bagaimana membuat itu konsisten, berlatih dan berlatih. Terus dan terus. Dahulu, menulis itu susah kalau tidak dibiasakan. Menulis apapun itu, menulis status, menulis cerita, menulis cerita fakta dan apapun itu. Ibarat belajar berjalan, memulainya dengan merangkak dan perlahan hingga mampu berdiri di atas dua kaki.   Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Dan saya mengumpulkan apa yang dulu saya ingini. Salah satunya bermain gitar. Dan saya memulainya perlahan, dan perlahan, berlatih dan berlatih. Sampai saya berkenalan dengan Guru Gitar namanya Pak Dewa. Berkenalan di tempat les anak saya, Adlan. Saya pun memutuskan ikut les gitar dekat rumah. Awalnya sedikit malu, ikut les gitar sekelas saya yang bapak-bapak. Tapi lama kelamaan rasa malu itu jadi bodo amat, toh semua bisa belajar meski kurannya seusia bapak-bapak.  Anak saya Adlan, belajar vokal. Dia ad

Pertanyaan-pertanyaan tentang: Apakah Para Blogger Sudah Mati?

Image
S ebenarnya ini adalah pertanyaan konyol. Mempertanyakan blogger sudah mati, harusnya dimulai dengan pertanyaan awal, apa tujuan atau awal mula membuat blog? Bagi saya, sejak mulai membuat blog awal mulanya itu ikut tren. Daku masih ingat, sekitar tahun 2005, tahun segitu adalah awal pertamakali saya mulai postingan pertama saya. Jadi, kalau dibilang apakah para blogger sudah mati? sebenarnya belum. Karena saya sampai sekarang masih menulis di blog saya. Kalau ditanya apakah para blogger di Indonesia dari Sabang sampai Merauke makin berkurang atau sedikit. Saya bisa jawab, betul makin berkurang.   Seingat saya awal mula membuat blog sejak tren awal di tiga tahun pertama sejak tahun 2000, lebih banyak dimotivasi karena keinginan belajar menulis, belajar mencurahkan isi dan uneg-uneg-semacam catatan harian di luar aktivitas harian. Saya masih menyimpan catatan-catatan pertama saya sejak memulai menjadi blogger. Pun berkomunitas dengan para blogger lain berbagi ilmu. Dari tahun tahun aw

Beda Secangkir dan "A cup of Coffee"

Image

Pada Dasarnya Kita Sakit Jiwa

Image
  Kerap kali saya merasa sulit mengambarkan sebuah proses sederhana menjadi sesuatu yang luar biasa. Misalnya, pernah bermimpi menjadi presiden, seorang dokter atau musisi. Jika pernah bercita-cita menjadi presiden di masa kanak-kanak lalu kemudian melihat pekerjaan presiden sebagai kepala negara dengan beban berpuluh juta rakyat menggantungkan hidupnya pada seorang pemimpin.  

Berkaca dari Rafael Alun Trisambodo, Kementerian Keuangan dan Manusia Setengah Dewa

Image
Menkeu Sri Mulyani sewaktu pertama kali muncul konferensi pers soal Rafael Alun Trisambodo. (kredit MPI) Menjadi manusia setengah dewa itu sederhananya ya, menahan godaan. Godaan pamer mobil, rumah dan kekayaan dan sahwat lainnya. Pun, Rafael Alun Trisambodo yang punya harta tak wajar sebenarnya tidak sendirian, jauh sebelum dia berhenti dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (kemenkeu).

Tahun Politik Telah Tiba, Siapa Dapat Apa

Bersiaplah bapak ibu, kaka ade dan kawan semua. Tahun politik sebentar lagi tepatnya di 2024. Makin skpeptis rasanya. Pilihan bakal ditawarkan yang terbaik diantara yang terburuk. Dua pasang atau tiga pasang calon, entah siapa paling kuat. Partai politik dan pendanaan dua sisi mata uang yang tak bisa dinafikan. Kalian tentu tau siapa saja pesohor negeri yang bakal maju. Saya tak yakin ada kuda hitam. Itu-itu saja, yang termpapang di media sosial.  Kalian tau, berapa pendanaan minimal untuk maju sebagai satu pasangan calon presiden dan wakil presiden? Sedikitnya butuh Rp5 triliun. Wow bukan? Tentu bukan. Pendanaan ini kerap datang dari para pendukung atau sponsor. Jumlah Rp5 triliun bisa setara hampir setengah dari APBD DKI Jakarta yang sekitar tujuh sampe lapan triliun. APBD Depok aja tiga triliun loh. Tentu masih jauh untuk duit pendapatan seKota Depok yang dikumpul dari pajak dll.  Kebutuhan pendanaan sebesar itu juga bukan jaminan menjadi capres dan cawapres terpilih. Saya mencoba m

Pers Hari Ini

Pers yang dekat dengan kekuasaan bukanlah pers yang ideal. Padahal, ia adalah penentu kemajuan demokrasi. Kondisi sekarang, produk pers menjelma menjadi industri media di tengah persaingannya dengan platform digital.  Bakal berimbangkah nanti? Khalayaklah yang menilai. Mau industri media itu berimpitan dengan kekuasaan, pun dengan industri media seidealis apapun, pers harus tetap kembali ke fitrahnya, berimbang atau cover both sides.  Barangkali itulah yang perlu dipahami masyarakat atau khalayak. Pada akhirnya akan kembali pada persoalan selera/ kepercayaan khalayak itu sendiri.