Empati, Hari Ibu dan L beha Perempuan..

Suatu sore di perjalanan, maksud hati ingin pulang, bukan pulang terakhir (rumah) hanya pulang sesaat menuju ke kantor.
Pukul 03 pm

Seseorang menghubungiku, kirakira limabelas menit lagi aku tiba di kantor. Di perjalanan tepat di ujung jalan Arief Rate depan kantor Pedoman Rakyat. Sesaat aku berhenti karena getaran HP yang menganggu di perjalanan.
“Betul ini ichsan dari Suara Celebes, tolong dek diliput kegiatan LBH Perempuan mengenai Diskusi Hak Asasi Perempuan”.

Hari sabtu sebenarnya hari yang sedikit longgar menurutku. Sangat jarang aku meliput berita. Bahkan jumpa pers atau konferensi pers sekalipun. Tetapi ajakan perempuan tadi membuat langkah ku berubah saat itu juga. Kupikir ini masih dalam rangka hari ibu 22 desember baru sehari lewatnya. Aku suka ibu..

Diskusi Hak Asasi Perempuan
Pemapar : Lusy Palulungan (direktur LBH perempuan)
Salma Tadjang (perempuan mantan junalis, skarang aktivis LSM)
Moderator : LBH Perempuan (perempuan yang tak sempat kutahu namanya)
Tempat : Restoran Pualam

Di dalam ruangan itu (resto pualam) beberapa orang aku kenal. Eki adalah seniorku, wartawan Radio merkurius duduk berdampingan denganku. Dibelakang saya seorang perempuan yang tak muda lagi, nampaknya dipaksa kelihatan muda dengan kacamata hitam melekat di atas rambutnya. Juga ada Jaya, wartawanh elektronik TV yang baru saja menikah dengan mantan wartawan juga berdampingan dengan Ifa perempuan berjilbab wartawan cetak Jurnal Indonesia, selebihnya terdiri dari perempuanperempuan yang tak kukenali. Mungkin merekalah yang disebut aktivis perempuan…Tak ada yang berpenampilan wahh. Atau boleh dikata dibawah standar.

Ketika sesi pertanyaan dibuka oleh moderator. Seorang perempuan berjilbab kemudian dengan lantang bertanya..

“Berapa sich sebenarnya jumlah kekerasan terhadap perempuan, skalian jumloah jandanya biar rekanrekan wartawan yang ada disini dapat melihat faktanya, dan mudahmudahan kita dapat berharap banyak munculnya jurnalisme empati dari mereka”
Jumlah lakilaki yang berada di dalam ruangan itu hanya tiga orang. Aku, Eki dan Jaya. Selebihnya perempuan.

Aku tibatiba berempati, setelah aku mengetahui kebanyakan dari peserta belum menikah, tau mereka hanya kritik. Kupikir sampai kapan mengatakan perempuan selalu menjadi objek..Padahal kenyataan tak selalu demikian

Saya merasa berempati saat itu.., kenapa mereka belum menikah, tak menikah, belum punya pacar atau tak mau pacaran.

Semakin aku berempati ketika dalam diskusi itu tak menyinggung tentang Hari Ibu.
Kekerasan terhadap Ibu Rumah Tangga yang masih tetap bertahan demi kebahagiaan anaknya yang dipaksakan karena rasa malu, banyak terjadi di Bumi Indonesia.


NB
Sekedar informasi kekerasan terhadap perempuan paling banyak dilakukan oknum TNI, Polri dan PNS, (berdasarkan peringkat)

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih