Posts

Showing posts from December, 2006

Peri Kecil Pemintaminta

Senyumannya mirip sekali dengan peri Ia tak punya sayap dan tongkat kecil sebagaimana peri lainnya Ia hanya meminta uang di perempatan lampu merah Tapi ia tak memaksa tuk meminta uang sebagaimana pemintaminta Terkadang masih malu mengangkat tangan meminta uang Adakah ia peri... Si pembawa pesan seperti malaikat baik hati yang mengantar pesan KepadaNya Senyumnya selalu terpancar tak ada susah saat ia menengadahkan tangan kanan tuk memintaminta Ia paling laris diantara para pemintaminta lainnya Saking laris, tanpa meminta ada yang menjambangi Senyumnya seperti peri kecil tanpa tongkat dan sayap Tanpa susah dan sedih.... Dia peri kecil di jaman ini

Menolak Kebetulan

Bagaimana mungkin, dengan tibatiba aku berjumpa dengannya Suatu ketika dengan tibatiba, dia memutuskanku Tanpa terencana kubertemu dengannya lagi bersua lagi dan berbahagia lagi kemudian putus lagi Dan kini ketemu lagi melalui pengembaraan panjang masingmasing Terikat dengan sakral Berlikuliku berbelokbelok ujungnya ketemu jua Ini bukan kebetulan Ini rencanaNya

...kapan

Tak pantas kumengingat namanya Setelah apa yang kulakukan terhadapnya Kenangan itu muncul kupaksakan untuk tak mengingat dan terus kupaksakan Ada hukuman yang harus kubayar dan akan kutuntaskan Tak perlu bertanya waktu Toh tak akan ada yang tahu kapan...

Simponi hujan dan lagu

Terasa seperti jauh dari keramaian dan hirup pikuk jikalau hujan turun di sebuah tempat ujung jalan dekat rumah pada suatu sore Hujan gerimis berganti deras seketika Alunan musik yang merdu dan suara hujan bergerimis, berderas perciknya memantul di atas atap seng dan jalanan beraspal membentuk simponi yang indah tak nampak kau pandang Pejamkan matamu kan terasa suasananya Suatu waktu kusarankan.. Dengarkanlah simponi hujan dan alunan lagu dari sebuah Tape ber headphone satu Telinga kiri alunan lagu Telinga kanan simponi hujan diatas seng dan dipercik jalan Bersama secangkir kopi beraroma lalu pejamkan Matamu...

Pulang..

Kemana kuakan pilang Aku tak pernah punya rumah Kecuali kau membuatkannya untukku Buatkan aku sebilik kamar dalam hatimu yang sederhana saja agar ada tempat menetap Ku kan benarbenar pulang

Kepergian dan Komoditas

Kepergian memang menyakitkan, apalagi kepergian seorang ibu.. Kumohon kepergian jangan dijadikan komoditas, apalagi kepergian seorang ibu.. Jangan dibesarbesarkan, apalagi kepergian seorang ibu… Menangislah disampingnya untuk sesaat dan hati yang kosong, seolah batin berbicara dengan ibu… Jangan menangis demi kepentingan anakku, menangislah demi ibu Biar ibu tersenyum di Alam lain, dan tersenyum untuk kalian anakku Menangis demi kepentingan, merepotkan banyak orang anakku Bukankah itu sama saja dengan memintaminta… Yang tak pernah kuajarkan kepadamu Biarlah iba itu datang dengan sendirinya dari orang yang ikhlas Jangan dibesarbesarkan. (Selamat Jalan Ibunda Asdar Muis RMS, 24 Des 2006, sehari menjelang Natal)

Menerka Calon Lewat Lembaga Survei-surveian

Pilkada Gubernur 2007 sebentar lagi dimulai. Anekdot yang dilontarkan Yudha Yunus aktivis LSM Makassar berbunyi Aku Ada Karna Pilkada, mungkin akan sedikit sama dengan bunyi Survei Ada Calon Pilkada pun ada. Sebuah filosofi yang pertama kali dilontarkan oleh filosof eksistensialis Rene Descartes (Cogito Ergosum). Maraknya lembaga survei menerka calon pilkada menjelang pelaksanaan pemilihan Gubernur Sulsel beberapa waktu lalu cukup menggelitik. Pasalnya dua lembaga yang melakukan survei penelitian memiliki hasil yang berbeda. Memang hanya masyarakat yang berhak memvonis memilih mana prediksi yang tepat. Namun jangan sampai lembaga, entah itu lembaga pemberdayaan, lembaga pendidikan, lebihlebih lagi lembaga pemerintah ikutikutan banting setir menjadi lembaga surveisurveian hanya karena momen pelaksanaan pilkada sebentar lagi. Paling tidak euforia itu mulai terasa dengan anggaran dana tidak kurang dari 100 milyar sebagaimana yang diusulkan KPUD Provinsi Kalau ada prakiraan untuk esok hari

Empati, Hari Ibu dan L beha Perempuan..

Suatu sore di perjalanan, maksud hati ingin pulang, bukan pulang terakhir (rumah) hanya pulang sesaat menuju ke kantor. Pukul 03 pm Seseorang menghubungiku, kirakira limabelas menit lagi aku tiba di kantor. Di perjalanan tepat di ujung jalan Arief Rate depan kantor Pedoman Rakyat. Sesaat aku berhenti karena getaran HP yang menganggu di perjalanan. “Betul ini ichsan dari Suara Celebes, tolong dek diliput kegiatan LBH Perempuan mengenai Diskusi Hak Asasi Perempuan”. Hari sabtu sebenarnya hari yang sedikit longgar menurutku. Sangat jarang aku meliput berita. Bahkan jumpa pers atau konferensi pers sekalipun. Tetapi ajakan perempuan tadi membuat langkah ku berubah saat itu juga. Kupikir ini masih dalam rangka hari ibu 22 desember baru sehari lewatnya. Aku suka ibu.. Diskusi Hak Asasi Perempuan Pemapar : Lusy Palulungan (direktur LBH perempuan) Salma Tadjang (perempuan mantan junalis, skarang aktivis LSM) Moderator : LBH Perempuan (perempuan yang tak sempat kutahu namanya) Tem

Percakapan Tinta

Makassar 12 Maret, 2006 Jangan biarkan kepalamu berpikir untuk Menulis, pikirkanlah bagaimana menggerakkan pena Sehati dengan tintanya, membentuk huruf, kata, kalimat, Paragraf, lembaran dan mencipta sebuah buku. Hasil karya nan elok kaupandang hingga maut menanti Mewarisi gading dibaca anakanak cucu adam kelak (anonim) Suatu hari di catatan ini, karena lama tak menulis dan berbicara dengan tinta pena hitam, sahabat kesunyian, pelepas kegelisahan… Saya lupa bagaimana caranya menulis dengan tinta pena, menulis huruf awal saja sudah seperti anak SD yang mirip cakar ayam seperti baru belajar menulis. Andai saja guru menulis indah, semasa SD melihat catatan jelek ini mungkin saya akan kena pukul oleh sang guru yang galak. Saya rindu menulis sesuatu, memang bukan profesi yang menjanjikan Namun saat ini menulislah yang dapat kulakukan. Kalau dahulu setiap satu kalimat yang lahir dari tinta pena yang berwarna hitam ini. Saya selalu berhenti untuk jeda sesaat, sekedar merokok dan membacanya be

Negeri Kaya Tukang Cerita

Suatu ketika datang kabar angin nun jauh disana. Tentang sebuah negeri bertaburan emas. Negeri kaya dengan impian, harapan dan kebahagiaan. Tanahnya subur, rindang oleh pepohonan, juga ada taman-taman surgaloka, dipenuhi bunga warnawarni yang cantik dan mewangi yang dijaga oleh bidadari-bidadari khayangan. Pokoknya tidak ada gontokgontokan disitu, tak ada bantai-membantai. Desasdesus mengenai kabar angin itu berkembang kembali menjadi perbincangan hangat di warung-warung kopi, warung Tegal, tukang becak dan bahkan cerita mirip dongeng itu terdengar di telinga para pejabat dan pengusaha di hotel-hotel berbintang tempat pertemuan mereka. Kabar itu muncul kembali setelah warga masyarakat lama merindukan kabar baik tentang cerita, kabar, dongeng yang diharapkannya jadi kenyataan. Maklum di kota Aneh Tak Bertuan itu, terbentuk dengan aneh karena semua penduduk seperti tuan di rumah sendiri tak kenal siapa kawan yang penting bisa makan. Jadilah kota itu di kenal dengan Kota Aneh Tak Bertuan,

Terdampar....

Mama'ku dan bapakku hampir tak percaya kalo saya berusaha menyelesaikan skripsiku, ..kutau pekerjaan sebagai wartawan berat..Tapi masih maa, masih pak.. aku berusaha untuk membagi waktu..Maa meski kau menyuruh ku ntuk berhenti dari pekerjaan ini..mudahmudahan aku tetap bertahan.. Masih ada harapan bagiku dengan menjadi wartawan,.. meski wartawan radio. kupikir tantangan bagiku untuk membesarkan radio ini adalah komitmen yang pernah kubangun saat wartawan cetak, elektronik TV memandang rendah kami termasuk saya yang wartawan radio, Mudahmudahan masih tertanam dalam dada, komitmen itu (saya sbenernya masih malu klo disebut wartawan atau istilah kerennya bernama jurnalis) Pengennya sich di cetak nasional,.. namun apa daya ombak mengantar saya ke media kecil seperti radio.. Mudahmudahan itu bukan masalah,,.. si pengarang jurnalisme sastra yang kukagumi itu juga masih hidup di Radio..

tak bisa nulis

ya ampun..ampun rasanya saya sudah lupa gimana caranya menulis, kemaren malam sempet jalan ke Biblioholic sekedar memenuhi undangan. Tapi rasa malas itu muncul lagi, betulbetul penyakit kronis yang tak bisa hilang