Posts

Showing posts from 2011

Kesan Pertama Itu Menggoda

Image
Lantaran pernyataan Abraham Samad yang membilang koruptor itu brengsek, menggelitik saya sehingga mau menuliskan artikel ini. Bukan sok suci dan sok bersih, tapi benar adanya kalau mereka (aparat) sebenarnya lebih brengsek lagi jika tak memberantas korupsi. Berbicara lantang memang gampang, tapi kita butuh bukti. Baiklah, saya ingin membandingkan apa yang saya tahu mengenai tokoh anti korupsi Abraham Samad ini. Dari curi dengar sana-sini, awalnya banyak yang ragu Abraham terpilih sebagai anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keraguan itu terjawab, tatkala ia tak hanya terpilih masuk dalam jajaran KPK, tapi sekaligus terpilih menjadi Ketua KPK. Saya tidak tahu banyak mengenai tokoh Abraham Samad ini. Tapi, ia adalah orang Bugis-Makassar. Bagi masyarakat kelas bawah, di lapak-lapak warung kopi Makassar, Abraham menurut mereka adalah titisan Baharuddin Lopa. "Saya dengar katanya dia seperti Baharuddin Lopa," kata Angga, pelanggan warkop lapak dekat pengadilan Sungguminasa,

Hm, Maap, Saya Mandek Menulis

Image
Ini bukan alasan yang bijak memang. Saya melihat, dan membandinkan lagi tulisan saya selama bekerja sebagai buruh tinta koran. Hasilnya, saya terjebak. Dahulu, saya menganggap tulisan yang baik adalah tulisan yang membebaskan. Sampai sekarang saya masih menganggapnya demikian. Tapi, sejak bekerja di dunia koran, saya merasa terjebak dengan efektivitas kata, dan kalimat. hasilnya, saya tidak bisa menulis sepanjang-panjang yang saya mau. "Hehe, tapi tak apalah, paling tidak saya masih sadar dengan perasaan terjebak ini." Sejak mengenal bagaimana rasanya menulis, tentu saja ada banyak tantangannya. Persoalan rasa, atau indera adalah paling utama. Setidaknya kepekaan itu ada, ketika akan memulai tulisan. Dan, saya terjebak, karena terlalu banyak dipusingkan urusan tetek dan bengek masalah data, akurasilah, dan sebagainya. Hm, tapi tenanglah, ini bukan sepenuhnya alasan saya belum memulainya. Saya sedikit ada urusan dengan tempat tugas baru saya. Tenang, masih menjadi wartawan

Duit Kita Ada di Surga Mereka

Image
Ini bukan sesuatu banget yah. Tapi kebetulan saja. Baru saja saya menonton film dokumenter, judulnya, Capitalism : A Love Story. Film ini bersifat dokumenter perjalanan barangkali, karya Michael Moore yang terkenal itu. Ia mengupas habis kapitalisme, berawal dari tempat sang sutradara-Michael Moore bertumbuh, di Kota Flint, Michigan. Flint adalah sebuah kota kecil, lokasi pertama pabrik mobil General Motor. Ayah Michael Moore, adalah seorang pegawai di General Motor. Sebagai penikmat film, sungguh, saya sangat mengagumi pembuatan film dokumenter ini. Terutama Keberanian Michael Moore mengangkat dampak kapitalisme, juga, sungguh menerangkan apa itu kapitalisme. Saya menyimpulkan kapitalisme adalah uang, modal, materi. Dan sungguh, jika hanya uang dan modal yang diandalkan dalam hidup, saya tidak tahu seserakah apakah kita. Di Amerika, Michael Moore menggambarkan bagaimana ketergantungan masyarakat terhadap duit. Tentu saja, setiap orang bisa mendapatkan duit, dengan cara meminjam di ba

Sebab Waktu, Saya Begitu Dekat

Seminggu terakhir, betul-betul padat. Sebagai wartawan, saya mengerti, saya sedikit pemalas. Saya punya alasan untuk malas, sebab, setidaknya saya berhak libur. Selama seminggu saya harus mengisi tiga berita mengenai tiga Rubrik di halaman Koran Tempo Makassar. Ketiganya, dengan hari yang berbeda. Rubrik Gaya Hidup-Arsitek setiap rabu, Rubrik Kreativitas, setiap jumat, dan rubrik Dia, setiap sabtu. Ketiga rubrik itu membahas satu halaman penuh. Belum lagi persiapan untuk rubrik Chinatown, yang naik cetak setiap hari senin. Seperti biasa, saban Sabtu dan Minggu saya memanfaatkan akhir pekan saya. Itu pun, sabtu pekan lalu, saya masih sempat mengunjungi Kabupaten Gowa, Desa Bontolangkasa Selatan, Dusun Borongkanang. Saya merencanakan liputan penenun khas -- lipa' sa'be dari Kabupaten Gowa, untuk rubrik kreativitas yang naik cetak hari Jumat. Penenun dalam bahasa Makassar dikenal dengan sebutan Pattennung. Perjalanan menuju dusun ini saya tempuh sekitar satu jam, ditemani teman b

Anggie

Image
Saya memanggilnya Anggie. Saya menebak nama Anggie adalah nama samaran. Pertemuan saya dimulai sebulan lalu, di sebuah rumah makan. Rambutnya panjang, paha putihnya begitu kentara, serasi dengan baju kaos tanpa lengan dengan paduan celana jeans short-pant. Dia mengaku bekerja sebagai tukang pijat. "Tapi bukan pijat plus-plus," katanya. Berapapun bayarannya, Anggie tak akan meladeni pelanggan yang demikian. Ia baru setahun bekerja di tempat pijat di Jalan Cendrawasih. Anggie masih muda di usianya 25 tahun. Empat tahun lalu, ia ditinggal suaminya di kampung halaman. Ia enggan bercerita mengapa suaminya pergi. "Saya dijodohkan. Tapi beberapa lama setelah menikah, dia meninggalkan saya," ucapnya. Anggie berasal dari Kabupaten Maros, tepatnya di Desa Laiya. Desa ini tidak jauh dari dari lokasi penelitian fakultas Kehutanan Unhas, Bengo-Bengo. Setidaknya butuh perjalanan sekitar dua jam berjalan kaki untuk mencapai desa Laiya. Ia tinggal di dusun sebelah, yang akrab dik

Gunting Tua Keluarga Siak Tjie Boen

Image
Pak Hong, 65 tahun sedang sibuk menjahit, saat saya mendatangi rumahnya, sekaligus gerai menjahit miliknya di Jalan Somba Opu. Nama gerainya, Mei Loen. Gerainya seperti ruko seluas 4x4 meter, sekitar 20 meter sebelum berbelok ke Jalan Ranggong. Di dalam gerai itu, hanya ada mesin jahit tua merek Butterfly, lemari dinding pintu kaca, dan sebuah meja besar setinggi perut orang dewasa. Meja besar ini digunakan sebagai tempat setrika. Mei Loen juga adalah rumah tinggal berlantai dua. Mei Loen, sebagaimana bentuk fisiknya, masih seperti 70 tahun lalu. Yang berubah, sejak peristiwa "pengganyangan Cina" di tahun 1965, papan namanya, tulisan kanji cina, diturunkan dan berganti menjadi Penjahit Indah Jaya. "Namanya saja yang berubah. Dulu kan tidak boleh menggunakan nama China," kata Pak Hong. Pak Hong nama aslinya, Siak Kam Hong. Sama seperti kejadian tahun 1965, ia juga mengubah namanya menjadi Suparto Samsi. "Saya dulu sempat sekolah Tionghoa, tapi hanya sampa

Dua Puluh Tiga Juli Tahun Dua ribu Sebelas

Image
-----Catatan kecil yang tersisa hari ini, setelah sebulan tak mengunjungimu.. Hai, Apakabarmu di sana tuhan. Lama nian kita tak bersua. Banyak hal yang saya mau ceritakan dari sedikit catatan kecil di kepala saya. Kau mungkin lebih tau kalau sebenarnya saya ingin mengadu sedikit tentang banyak hal. Sesuatu yang sedikit itu lebih tepatnya janji-janji yang tertepati. Tentu kau taulah. Saya tak perlu mengumbar kesibukan saya sebagai buruh, sebab kau tuhan tentu saja. Jika nanti tulisan ini begitu banyak artinya, anggap saja itu sebagai harapan, cita-cita atau semacam obat kecewa kepada sesiapa saja. Oh ya, sebelumnya saya sudah mengumbar sedikit tentang Suku Oewpek atau Hupe--salah satu suku minoritas Tionghoa di Makassar. Mereka sebagaimana kautau adalah tukang gigi yang jumlahnya bisa dihitung jari. Tapi sebagai hamba yang selalu tak menyangka akan ciptaanmu, saya juga mendapati Suku Hakka. Mereka ini adalah salah satu suku dari daerah Kanton di provinsi Kwantong Tiongkok. Saya juga b

Alfred-Tionghoa Oewpek yang Terbuka

Seminggu sebelum peliputan dimulai, saya sudah was-was. Saya ditugasi kantor meliput awal kedatangan para pembuat gigi palsu di Makassar. Mereka, 90 persen bisa diduga warga Tionghoa dari suku Oewpek atau Hupe, atau Upe, yang jumlahnya minim. Mereka bisa dihitung jari, sebab turun-temurun baru tiga generasi di kota saya, kota Makassar. Seperti biasa, teman-teman saya di bagian non news pemberitaan koran tempo Makassar terbiasa dengan ketegangan jelang tenggat. Apalagi melakukan peliputan di kawasan pecinan. Peliputan ini adalah salah satu yang tersulit, sebab masyarakatnya bisa dibilang sangat tertutup. Maklum, trauma masa lalu pemerintahan kita membuatnya seperti itu. Tapi setelah menelusuri kawasan pecinan kurang lebih hampir setahun, saya banyak belajar dari mereka, yang warga Tionghoa. Salah satunya dari tukang gigi bernama Alfred Sentosa, 42 tahun. Ia tinggal di Jalan Gunung Lompobattang mengelola praktik Tukang Gigi Gaya warisan ayahnya, Philippus Sentosa. Alfred bermarga Sen da

Edisi Susah

Saya mengutakatik blog saya dan mendapati pagerank blog ini mencapai page rank 2. Menurut sejumlah teman, ini sudah luarbiasa. Tapi itu tak penting. Blog ini tidak menjadi patokan standar yang harus diikuti. Itu semakin membebani. Percayalah. Awalnya saya meniatkan blog ini sebagai sebuah perjalanan. Tahun 2005 akhir kalau tak salah, saya memulainya. Saya ingin mengenangnya, karena dulu setiap kali tulisan dalam blog ini mencapai angka seratus, saya merayakannya dengan cara berbeda. Mengenang, adalah salah satunya. Kalau menurut catatan blogger, blog ini dibuat Bulan Agustus 2005. Masa-masa itu adalah masa-masa imut saya. Masa yang tak jelas berujung akan kemana saya. Waktu itu, saya telah menyelesaikan kuliah kerja nyata (KKN). Tepatnya di Kabupaten Pinrang, Kecamatan Duampanua. Tidak seperti kebanyakan-mahasiswa imut lainnya. Saya tak banyak kritis di masa-masa KKN yang berlangsung selama tiga bulan itu. Mereka membilang apa gunanya KKN. Tapi bagi saya, KKN adalah nostalgia. Pentingk

Tarakan Street : ‘My Life at the Top Wheels’

Her name is Melly Lo or Familiar called Lo Sia Me fifty years old, have long inhabited the Tarakan Road. Her house at the junction of Jalan Irian-Tarakan and has been occupied since the Dutch era. The period in which his father opened a coffee shop Hai Guang first, and still survive till the day. "It's this old shop. Since the time of the Dutch, my subscription is now the average truck driver," she told the shop that was also occupied as a dwelling house in Tarakan Road No. 187. Hustle heavy vehicles such as trucks and containers, it looks like familiar old mother offspring this Hainan. But that's the hallmark of Tarakan Street approximately one kilometer in length. Road width of two large transport trucks, the formerly known as Karanrang street. In the past people knew this road as a place of prostitution in the 1960's. This place beat the glitter of the night at Nusantara street. "Uuu pass-through first woman here. Because this road close to the harbor P

I La Galigo dan Cerita di balik Tembok Fort Rotterdam

Image
Malam yang cerah dan semilir angin sepoi sungguh romantis. Belum ada rintik hujan yang bakal keras menghantam Makassar di Jalan Ujung Pandang yang masih tergolong daerah pantai. Di emperan jalan itu, sepasang kekasih duduk santai di warung remang. Sambil menikmati es kelapa muda. Keduanya bertanya heran. "Acara apa di seberang sana?" Setelah membaca baliho raksasa, ada tanya kemudian. "Apa itu Lagaligo?" Keduanya tak jauh dari Benteng Fort Rotterdam-atau sekitar 20 meter pintu gerbang di seberang jalan, tempat berlangsungnya pementasan teater megah tahun ini, I La Galigo. Wajar ada yang berpendapat kalau pementasan pementasan I La Galigo adalah utopia bagi sebagian masyarakat biasa. Barangkali perkataan itu ada benarnya, jika merujuk pada seni pertunjukan. Apalagi I La Galigo adalah warisan budaya bugis kuno yang diangkat ke atas seni pertunjukan teater. "Seni itu mahal bung. Mengelolanya itu butuh kerja keras," kata Asdar Muis RMS, budayawan Makassar.

Perjalanan Singkat Mengenal I La Galigo

Image
Aduh. Kartu pos berbahasa perancis ini begitu menggoda pandangan mata saya. Latar foto itu orangtua berjenggot, berpakaian ala putih seperti dewa yang baru turun dari langit. Diapit rumah-rumah kecil. Dibalik kartu pos itu adalagi gambar arena layaknya menyaksikan pertunjukan ala Romawi. Penonton di arena itu terkesima pada satu pandangan teaterikal. Sebangsa apa yang membuat kartu pos semewah ini? Usut punya usut, latar foto itu adalah latar pentas teater di Lyon Perancis. Saya lebih terkesima lagi ketika mengetahui pentas teater itu bernama I La Galigo, kisah panjang epos sastra terbesar di dunia melebihi Mahabarata. Dua bulan lalu saya mendengar I La Galigo akan dipentaskan di Makassar. Sebuah pentas lima tahun silam begitu spektakuler ditayangkan di Harian Kompas. Saya hanya melihat siluet fotonya yang luar biasa. Tapi belum ada ketertarikan di masa itu. Belum ada gairah untuk mencari tahu. Hingga suatu ketika saya bertemu dengan Abdul 'Simon' Murad. Dari tangannyalah sa

Rasa, Itu Memanusiakan

Setelah mengingat kembali apa itu pewarta, saya baru sadar profesi ini bukan sekadar memberitakan. Kalau tak salah, seorang wartawan itu seperti kata-kata wartawan Kompas Sindhunata. Dia sewajarnya ikut menjadi lelaku atau merasakan langsung objek liputan-mengecapnya dengan seluruh indera. Barangkali ini juga ada hubungannya dengan istilah Coverboth Side (dua sisi yang berimbang). Misalnya, melakukan peliputan demonstrasi di lapangan. Ada polisi, dan ada barisan mahasiswa pada sisi yang bersebrangan. Keduanya berlawanan tentu saja. Sebagai pewarta yang baik, ini ada hubungannya dengan letak posisi. Pada posisi apa anda berpijak. Seperti para peliput perang semisal pewarta CNN dan Al-Jazeera. CNN pada masa invasi amerika ke Irak jelas berada pada pijakan sekutu. Sementara, Al-Jazeera berada pada posisi netral (kalau boleh menyebutnya demikian). Kenapa Al-Jazeera netral? Sebab, mereka (pewarta Al-Jazeera), tidak melulu menjadi corong bagi sekutu. Dan tentu saja informasi mengenai kebera

Pohon Keinginan

pada akhirnya kita memang tak bisa diam, tahan dengan kesunyian. dari sekian banyak pohon-pohon berbagi, kita memilih yang paling aman. disitu, kita menyimpannya rapat ke salah satu dedaunan yang berjuta jumlahnya. menancapkan jejak, berharap angin menyemaikan doa-doa kita yang baik-baik. kautau, kenapa ada permainan pohon harapan atau pohon keinginan pada masa sekolah kanakmu dulu? jika tiba waktu dedaun itu berguguran dan tumbuh beranakpinak, bisa jadi doamu terkabul. pilihlah yang paling aman di antara semua pepohonan itu-di antara berjuta dedaun itu dan tancapkan harapanmu.