Anggie

Saya memanggilnya Anggie. Saya menebak nama Anggie adalah nama samaran. Pertemuan saya dimulai sebulan lalu, di sebuah rumah makan. Rambutnya panjang, paha putihnya begitu kentara, serasi dengan baju kaos tanpa lengan dengan paduan celana jeans short-pant. Dia mengaku bekerja sebagai tukang pijat. "Tapi bukan pijat plus-plus," katanya.

Berapapun bayarannya, Anggie tak akan meladeni pelanggan yang demikian. Ia baru setahun bekerja di tempat pijat di Jalan Cendrawasih. Anggie masih muda di usianya 25 tahun. Empat tahun lalu, ia ditinggal suaminya di kampung halaman. Ia enggan bercerita mengapa suaminya pergi. "Saya dijodohkan. Tapi beberapa lama setelah menikah, dia meninggalkan saya," ucapnya. Anggie berasal dari Kabupaten Maros, tepatnya di Desa Laiya. Desa ini tidak jauh dari dari lokasi penelitian fakultas Kehutanan Unhas, Bengo-Bengo.

Setidaknya butuh perjalanan sekitar dua jam berjalan kaki untuk mencapai desa Laiya. Ia tinggal di dusun sebelah, yang akrab dikenal sebagai Kampung Aha'. Kampung ini dihuni oleh bos aliran Aha' bernama daeng Kulle. Daeng Kulle telah meninggal ditembah polisi pertangahan tahun ini. Tapi, ia enggan bercerita banyak tentang daeng Kulle. "Malas saya cerita orang yang tidak kukenal. Preman lagi, ganti cerita saja deh," ujarnya, sembari mengunyah permen karet setelah menghabiskan satu porsi kecil nasi campur pesanannya.

Anggie sebenarnya memiliki nama padaengang Makassar. Nama Padaengang, biasanya sebuah nama keluarga yang cukup dikenal di kampung halaman. Anggie pendatang dari Malino, Kabupaten Gowa. Kakeknya termasuk pendatang pertama di dusun ini, Desa Laiya. Sampai sekarang keluarga Anggie masih menggarap sawah. "Tapi hanya buruh. Bapak saya hanya bagi hasil dengan pemilik lahan," ujarnya.

Saban bulan, Anggie pulang ke kampung halaman mengendarai sepeda motor. Jika berjalan kaki menuju kampung, perjalanan bisa ditempuh hingga dua jam. Tapi jika naik motor, waktu bisa disingkat hingga satu jam lebih. Jalannya berbatu kecil, dan agak terjal. Kalau naik motor, Anggie pasti jatuh sekali dua kali. "Mau diapalagi, daripada jalan kaki sampainya lama," katanya.

Anggie mengadu nasib di Kota Makassar karena merasa tidak ada pekerjaan lain. Sejak ditinggal suami, ia tak tahu harus bekerja apa. "Mau bekerja di sawah bantu orangtua, saya merasa tidak nyaman karena digosipi," ucapnya.

Anggie bekerja sebagai tukang pijat tanpa sepengetahuan keluarga di Desa laiya. Tapi, sejak ia mulai akrab dengan sepupu perempuannya yang juga tinggal di Makassar, Anggie berbagi cerita. "Dia baik, bisa jaga rahasia. pokoknya tidak cerewet." Selama setahun bekerja sebagai tukang pijat, Anggie hanya mendapat bayaran Rp 8 Ribu rupiah untuk satu jam. Pemilik Panti Pijat, kata Anggie, bisa mengenakan harga Rp 40-50 ribu kepada setiap pelanggannya. "Tergantung tempatnya. kalau ditempat saya, harganya Rp 40 ribu. Saya hanya kebagian delapan ribu," katanya.

Saya kemudian bertanya, apakah setiap tukang pijat memiliki motor seperti Anggie? "Jujur, ini motor yang dibelikan bapak saya di Kampung saya," katanya. Anggie masih berharap, kelak, ada seorang lelaki yang meminangnya. Ia sering mendengar cerita-cerita keluarganya yang menjadi tenaga kerja perempuan di Arab Saudi. "Saya ingin seperti mereka, membelikan rumah, sawah dan menghajikan orangtua," katanya. Matanya menerawang menghadap langit-langit rumah makan tempat kami bercerita. | Foto sketsa : giekuma.blogspot.com |

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih