Posts

Showing posts from 2012

Penghapusan Dosa di Mpok Nur

Image
Saya sebagaimana beberapa kawan buruh media, punya tempat makan yang sama pula. Suatu malam, ketika hujan sangat derasnya menyerbu kota Jakarta, saya memutuskan singgah di tempat makan itu. Nama tempatnya, hampir serupa dengan tenda warteg, dan biasa kami memanggilnya dengan sebutan Warung Mpok Nur. Warung Mpok Nur cukup megah. Megah, karena warung ini beratapkan beton raksasa di bawah jalur rel kereta di Jalan Kebon Sirih. Kawan, sejawat, dan bos-bos media nusantara, dahulu pernah sering ke sini. Mereka berbagi, sehingga khabar terbaru sumir pun cepat beredar di Warung Mpok Nur. Mpok Nur, nama pemilik warung ini telah mengelola warung bersama keluarganya. Mpok Nur baik hati, sehingga kami, yang tidak baik ini, seringkali harus meminta penghapusan dosa kepadanya. Penghapusan dosanya bermacam-macam, mulai dari tingkat ringan, sedang hingga penghapusan dosa tingkat berat--seberat-beratnya. Biasanya, penghapusan dosa datang belakangan, berbulan-bulan, barangkali ada pula yang berta

biografi setengah hati

Image
Banyak sekali yang tak tercatat selama perjalanan kali ini tuhan. Anis Baswedan seorang tokoh pendidik itu mengingatkan di twitter, kira kira begini bunyinya : mati tanpa cintamu tuhan, ialah terburuk dari segala kematian yang ada. Pun saya membaliknya : perjalanan tanpamu tuhan, ialah perjalanan terburuk dari setiap perjalanan yang ada. Saya meninggalkan kota Makassar baru sekitar tujuh bulan. Tentu ada banyak mimpi dan perjalanan terjal kelak, setelah menginjak Jakarta. Mimpi yang kurang lebih sama dari sekitar 10 juta penduduk Jakarta yang bekerja sejak pagi hari. Sebuah mimpi yang diawali kekecewaan. Banyak tokoh hebat memulai mimpinya dengan permulaan kekecewaan. Lalu, dia mengubur rasa kecewa itu, dengan cara berjuang sendiri membangun segalanya dari fondasi paling bawah. Saya bukan sesiapa. Tapi saya punya mimpi. Dan percayalah tuhan, saya meyakinkanmu saat ini hingga kau mau mengabulkannya kelak. Tapi, dari semua yang saya ketahui, belum berani saya mengungkapkan di had

Sebuah Cerita yang Tak Harus

Image
Tuhan yang baik. Aku punya dua kebaikan yang seharusnya tak perlu kuceritakan kepadamu karena engkau maha mengetahui segala hal di muka bumi ini. Tapi karena tempat ini ialah lahan curahan, tak apalah aku bercerita, supaya kau bisa memberikan cobaan lebih ringan di perjalanan selanjutnya. Sejak dua minggu kemarin aku merencanakan sebuah perjalanan kecil mengelilingi sebuah kampung di Jakarta. Aku sudah mengepak barang bawaan untuk perjalanan waktu itu. Berangkat menuju Stasiun Depok, naik kereta ekonomi. Di atas kereta ekonomi, sungguh, baru kali ini merasa senang, sebab, perjalanan kali ini tak ada beban. Biasalah. Kau sepertinya lebih tahu, perjalanan dengan beban peliputan sebagai wartawan itu selalu membuat khawatir. Tentu saja, takut telat tiba di lokasi meski pada akhirnya begitulah yang terjadi (telat). "Salatullahsalamullah.. Begini nasib, jadi bujangan, kemanamana, asalkan senang tiada orang yang melarang," suara pengamen bergantian masih tak merisaukanku, pu

Inspirasi Tukang Sabun

Image
Tiba-tiba saja, saya mencabut modem dan meletakkannya begitu tak karuan di atas meja. Jauh dari biasa, saban kali mau mengetik sesuatu, saya menjelajahi Om Google. Kali ini sedikit berbeda, karena mendapati inspirasi menarik ala tukang sabun, tukang colek dan tukangtukang lainnya usai bertemu dengan Bob Sadino. Singkatnya, Bob Sadino seorang pengusaha top. Bisnisnya baru melambung tinggi di usia 60 tahun. Usianya sekarang menyentuh 79 tahun. Dia bilang, 42 tahun mengalami kebingungan hingga di usia 60 tahun tak kebingungan lagi. Begitu enteng ia jawab. "Kalau mau maju, memang harus bingung," katanya singkat. Om Bob, begitu, ia biasa disapa. Di acara diskusi panggung di Balai Kartini Om Bob cuma bilang, kalau mau jadi pengusaha harus punya kemauan yang kuat. "Kemauan kuat juga belum cukup. Bikin tekad bulat, berani ambil peluang, tahan banting, jangan cengeng, jangan terbelnggu pikiran, dan selalu bersyukur kepada sang pencipta," begitu katanya. Untuk sebua

Oleh-oleh Paling Aman Bagi Lelaki Adalah Kopi

Image
Betulkah, atau hanya saya yang berpendapat demikian? Sewaktu mudik kemarin, saya memang bingung, akan membawa pulang apa. Makassar adalah kota kelahiran saya. Paling banyak orang mengetahui tentang Makassar adalah Pantai Losari. Seperti halnya Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Pun begitu, tidak mungkin saya membawa Pantai Losari dalam tas sebagai oleh-oleh. Selain Pantai Losari, orang dari luar Makassar paling akrab dengan kuliner berkuah seperti Coto Makassar, Sop Saudara atau Pallubasa. Ada juga yang khas seperti Mie Kering atau akrab dikenal dengan sebutan Mi Titi. Cuman, kalau membawa semua makanan berkuah itu pun, juga masih perlu ditimbang, sebab sedikit merepotkan. Jadi, saya memutuskan hanya membawa berbungkus-bungkus Kopi Toraja. Selain harganya tidak mahal-mahal amat, kemasannya juga sederhana. Ada yang dibungkus plastik atau kemasan karton alakadarnya. Harganya juga tidak mahal. Mendapatkan bungkusan Kopi Toraja di Makassar susah-susah gampang. Maklum, kebanyaka

Kedai Kopi Tua Disulap Jadi Resto

Image
Nginap di Rembang, Jateng. Ini adalah Hotel Antika, pemiliknya Tionghoa pengusaha meubel. Kota kecil ini ada banyak pabrik rokok tua jaman belanda | Foto Tommy Maulana

Benar Itu Tak selalu Detail

Image
Barangkali kata yang cocok adalah TEPAT. Kita tak perlu detail, karena detail itu bukan tugas wartawan. Tugas wartawan, hanya sekadar menyambungkan logika yang cocok berdasarkan fakta berupa pendapat, data, dan lapangan. Sebagai seseorang yang baru merasa belajar menjadi wartawan, saya tahu itu, lantaran dikritik seorang teman sesama profesi. Kata dia, "kamu harus belajar dulu." Dalam hati, tentu saja saya mengiyakan, tapi inti masalahnya bukan di situ menurutku. Seorang wartawan sejatinya, hari-hari berhadapan dengan tenggat (deadline). Kecuali tenggat bangun yang sering telat, itu pengecualian. hehe :) Detail itu hanya tugas seorang akuntan, atau tugas seorang auditor juga tugas seorang penyelidik sekalipun. Jadi, bagi saya, BENAR itu tak selalu detail demi mendapatkan informasi. Kata yang cocok barangkali TEPAT. Artinya, seorang wartawan harus tepat dalam arti mengerti ketika informasi akan siap disampaikan kepada khalayak.

Kopi Tak Soal Meracik

Image
Jam tangan baru menunjuk pukul 10 malam. Masih ada waktu satu jam lagi, kereta listrik terakhir tiba di peron dua, waktu Stasiun Gondangdia. Jauh di bawah tangga, dua jalur pejalan kaki bertumpuk para pedagang kaki lima, tukang ojek, dan tukang sampah. "Halo Pak Andre, Pa Khabar pak, lama tak jumpa ini. Sehat ya pak," seorang calo nyeletuk tiba-tiba. Pak Andre, persis, duduk di samping saya, di lapak terbuka warung kopi dadakan. "Iya nih pak, alhamdulilah baik pak," kata Pak Andre, barangkali, setengah terpaksa menjawab basa-basi calo bertopi itu. Calo itu menambah basa-basinya. "Gimana nih pak pilkada, milih siapa?" masih dengan terpaksa, Pak Andre menjawab seadanya. "Milih Foke-lah, masih jagoan dia," ucap pak Andre, sembari meneguk kopi, sambil mengalihkan pandangan memainkan jemari pada ponselnya. Nikmatkah kopi sambil curi dengar perbincangan orang-orang sekitar? Bisa jadi. Saya kalau ditanya begitu, saya akan menjawab nikmat. kopi aka

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Image
Makassar itu sangat menarik untuk dikaji. Terutama karena keberagamannya. Di makassar, dahulu ada Kampung Cina, Kampung Arab, dan Melayu. Jaman belanda berkuasa, mereka, para pendatang itu ditempatkan dalam satu distrik tersendiri dibawah kepemimpinan Mayor Thoeng. Jabatan Mayor pada masa itu disematkan sebagai kepala kecamatan. Tugasnya, memungut pajak dan upeti untuk dikumpulkan kepada Ratu Belanda. Salah satu daerah kampung Cina (dulu, konotasi cina masih akrab di jaman penjajajahan sebelum adanya kerusuhan bernuansa sara) yang paling menarik adalah Jalan Sulawesi. Saya lupa nama jalan ini di jaman Belanda. Tapi saya ingin cerita perjalanan singkat saya sewaktu bekerja sebagai jurnalis meliput perihal Tionghoa di Makassar. Tjoen Tek Kie, adalah salah satu toko obat ang masih bertahan sejak jaman Belanda ini. *** Nenek perempuan itu mengenalkan diri. Namanya Tjang usianya renta sekitar 70 tahun, berasal dari etnis Kanton. Suara saya hampir lagi tak kedengaran karena nenek T

n a m a

Image
Nama saya sama dengan namanya. Iksan. Usia jelasnya, tidak pernah saya ketahui. Tapi belum menginjak 40 tahun. Tak pernah menginjak bangku kuliah, tapi ia seorang seniman. Iksan adalah anak teater sanggar Merah Putih di Makassar. Lantaran sibuk, ia jarang lagi main teater, dan hanya tampil sebagai pembuka acara saat pementasan berlangsung di gedung kesenian Jalan Riburane, Makassar. Suaranya lazim, sangat cocok untuk tipikal pembawa berita. Saya sekawan dengan dia sewaktu bekerja di radio, tujuh tahun silam. Saya orang lapangan, bertugas mencari berita. Sedang dia, orang studio atau penyiar berita. Belum jelas, apakah ia telah menikah dan punya anak. Tapi tahun lalu, saya dengar ia telah menikah. Saban malam berkongkow di gedung kesenian, saya pasti bertemu dengannya. Memesan kopi tengah malam, dan bercerita sana-sini, sedikit, ngalur-ngidul, tapi tentang banyak hal. Pertengahan 2008, kami bercerita perihal perihal identitas nama-nama unik. "Kalau kau punya anak, beri saja nam

Benda Sepele di Tangan Anda

Image
Saya lupa sejak kapan saya memakai jam tangan. Tapi banyak cerita saya punya sejak memiliki jam tangan. Seumur-umur assesoris tubuh saya hanya ada dua. Kacamata dan jam tangan. Kacamata saya pakai sejak kelas satu SMA. Jam tangan, setahun kemudian tak pernah absen menjadi assesoris kedua saya. Kacamata, memang wajib, sebab mata saya minus tiga dan empat. Jika jimat satu itu tak kepakai, seolah panca indera saya hilang satu. Berbeda dengan jam tangan. Kalau yang ini (jam tangan) hilang, juga tak lengkap bagian tubuh saya. Selain itu, memang ada banyak assesoris lain di tubuh saya tapi tak bertahan lama. Misalnya cincin, manikmanik gelang, dan kalung. Kacamata dan Jam tangan sudah menjadi azimat buat saya, tak memakai salah satunya, seperti ada yang hilang. *** Saban pagi dahulu kala di atas angkot menuju ke sekolah saya bingung melakukan sesuatu. Berdempet ria di atas angkutan umum dengan berbagai bau parfum dan bebau lainnya membuat saya kikuk. Daripada memandangi wajah orang

Tulisan Tangan

Image
Sejak awal memulai blog ini tahun 2005, saya mau belajar. Belajar selamanya. Banyak inspirasi saya dapati dari penulis-penulis catatan harian semisal Soe Hoek Gie dan Ahmad Wahib. Dua penulis catatan harian ini memang paling menginspirasi. Soe Hoek Gie melalui Catatan Seorang Demonstran, saya membacanya, sejak masih sekolah di kelas tiga SMA. Waktu itu, bisa dibilang itulah kali pertama saya membaca buku paling tebal. Buku ini saya dapatkan di kamar kakak perempuan saya. Kala itu, ia masih mahasiswa ilmu komunikasi. Buku ini bikin saya tertarik karena kisah perjalanannya memotret masa mahasiswa di tahun 1965. Ia orang Tionghoa yang konsisten. Soe memotret perjalanan kehidupan mahasiswa dan berkuliah di Universitas Indonesia. Soe yang kuliah di Universitas Indonesia itu, saban kali rajin menulis kata-kata melalui pena. Saya membayangkan kenikmatan menulis melalui pena, sebagaimana yang dirasakan Soe Hoek Gie saat itu. Ahmad Wahib lain lagi. Hal yang paling saya rasakan saat membac

Harapan Mata Pulang

Image
Apa yang paling indah dari sebuah kota mega metropolitan macam Jakarta? Harapan barangkali. Seburuk-buruk Jakarta, ada berjuta harapan pada sepasang bola mata manusiamanusia Jakarta. Mereka—sepasang bola mata menyirat harapan begitu terang di pagi hari dan redup-seredup-redupnya saat senja mulai hitam. Pada akhirnya hanya satu harapan, pulang. Sebab pulang pada akhirnya menyimpan dan merawat harapan, supaya bisa berasa lagi, begitu-begitu dan begitu seterusnya. Dalam kelesuan sendu mata itu, ada cercah di sana. Dan saya mengintipnya di atas kereta besi | Foto : regenitas.blogspot.com |
Image
foto Carol Guzy | seorang pasangan saling bergandeng tangan dan berjalan di tengah reruntuhan itu. Bangsa mereka sedang terluka. Para ahli berupaya membangun kembali keadaan di haiti. Mereka mengatakan, bantuan kemanusiaan pada akhirnya akan dipercepat, di bawah pimpinan Komisi Pemulihan Sementara Haiti. Komisi ini telah mengatur dan menetapkan 40 persen pembangunan dari total kehancuran. Mereka menyetujui pembangunan proyek jalan raya, apartemen, dan 250 sekolah sementara bagi anak-anak. Meski begitu, proyek ini membutuhkan waktu selama bertahun-tahun. |(foto pulitzer kategori foto berita 2011|
Image
foto Nikki Kahn | Sylvia frederic tergesa membawa anaknya, Johny Frederic, 26 tahun, ke rumah sakit, sesaat, sebelum Johny meninggal dipelukannya. Ia masih bingung akibat gempa bumi di Haiti. Penderitaannya diperparah wabah kolera yang merenggut nyawa Johny anaknya. Kolera dapat menyebabkan muntah dan diare yang parah, dan bisa menghabisi nyawa setelah mengalami dehidrasi berjam-jam. Penyakit ini belum pernah terlihat di Haiti selama beberapa dekade, dan banyak orang Haiti belum mengetahuinya, sejak gempa besar ini terjadi. |pemenang pulitzer kategori foto berita 2011|