n a m a

Nama saya sama dengan namanya. Iksan. Usia jelasnya, tidak pernah saya ketahui. Tapi belum menginjak 40 tahun. Tak pernah menginjak bangku kuliah, tapi ia seorang seniman. Iksan adalah anak teater sanggar Merah Putih di Makassar. Lantaran sibuk, ia jarang lagi main teater, dan hanya tampil sebagai pembuka acara saat pementasan berlangsung di gedung kesenian Jalan Riburane, Makassar.

Suaranya lazim, sangat cocok untuk tipikal pembawa berita. Saya sekawan dengan dia sewaktu bekerja di radio, tujuh tahun silam. Saya orang lapangan, bertugas mencari berita. Sedang dia, orang studio atau penyiar berita. Belum jelas, apakah ia telah menikah dan punya anak. Tapi tahun lalu, saya dengar ia telah menikah.

Saban malam berkongkow di gedung kesenian, saya pasti bertemu dengannya. Memesan kopi tengah malam, dan bercerita sana-sini, sedikit, ngalur-ngidul, tapi tentang banyak hal. Pertengahan 2008, kami bercerita perihal perihal identitas nama-nama unik. "Kalau kau punya anak, beri saja nama Kinisilam," katanya kepada saya.

Tengah malam tanpa hujan, diiringi deru kendaraan di sekitar Jalan Riburane. Saya dan dia berbincang ditemani secangkir kopi hangat di pinggir Jalan Riburane, di depan gedung kesenian. Tempat ini, memang, salah satu tempat kongkow favorit. Nama Kinisilam tak pernah berhenti di kepalaku setelah dia menyebutkannya. Nama ini menarik karena cukup bermakna. "Kinisilam berarti masa depan dan masa lalu. Penyebutannya pun enak, saya akan memanggilnya Silam," katanya.

Diam-diam, setelah saya meninggalkan perbincangan tengah malam itu, saya mencuri nama ini, dan bereksperiman membuat majalah bernama Kinisilam. Kinisilam bukan majalah populer, tapi hanya semacam surat kabar mini. Isinya, perihal sastra dan filsafat. Saya membuatnya pertamakali di komputer pak Rahmat Santosa, di Jalan Bougenville di Cafe Star Book. Hanya sempat jadi satu edisi saja.

Di Cafe Star Book hampir satu hari saya membuat satu edisi ini. Maklum, sebagai penulis dadakan, saya punya cita-cita saat itu, membuat terbitan sendiri perihal sastra. saya mendisain Kinisilam seadanya ke dalam bentuk Microsoft Word, usai itu, saya memperlihatkannya kepada pak Rahmat Santosa, pemilik Star Book, sekadar meminta pendapatnya.

Seperti biasa, di Cafenya yang sederhana, saya pelanggan satu-satunya paling terakhir ditunggu oleh pemiliknya. Tapi seperti biasa juga, jika malam telah sangat larut, kami selalu berbincang ditemani alunan musik Jazz. Jika waktu seperti itu, saya pasti mendapatkan kopi gratis buatannya. "Bagus ini, lumayan," kata dia.

Nama, menurut Rahmat Santosa memang selalu punya makna sendiri. Pak Rahmat, bahkan sempat mengubah namanya setelah ia memeluk islam. Pak Rahmat sebelumnya beragama Katolik. Dia pulalah yang membuat Star Book pertamakali. Nama Cafe ini tentu saja diambil dari nama Cafe kelas dunia macam Starbuck menjadi Star Book. Tentu saja Cafe buatan Pak rahmat ada kaitannya dengan dunia buku.

Pak Rahmat Santosa adalah seorang dosen elektro di Unhas. Gelarnya hanya Insinyur saja, meski belakangan ia mengambil manajemen di sekolah tinggi Patria Artha. Bagi pak Rahmat, titel tidak penting selama semua hal bisa dipelajari. Tak heran, buku-buku di Cafenya ada ribuan. Ia adalah penyuka filsafat, dan sastra terutama filsafat islam.

Dari Cafe Star Book, saya mengenal nama-nama Donny Gahral Ardian, Ali Syariati hingga pendiri Ukhuwah Islamiyah, Hasan Al banna. Di Cafe Starbook pulalah, saya sedikit tahu tentang filsafat, sastra dan perbandingan agama. Di cafe ini ada ribuan buku terpajang. Mulai dari Soe Hoek Gie, catatan harian Ahmad Wahib, hingga buku Karen Amstrong maupun buku filsafat berbahasa Inggris dan Belanda ada di sini. Tentu saja, semua buku-buku itu, tak lepas dari diskusi tengah malam dengan Pak Rahmat santosa.

Sebelum mengubah namanya, Pak Rahmat adalah alumni SMA Katolik Makassar. Ia kalau tak salah senagkatan dengan rektor Unhas sekarang, Idrus Paturusi. Kebetulan ia kenal ibu saya yang juga alumni SMA Katolik. Dari ibu, saya mendegar Pak Rahmat adalah orang yang cerdas, dan selalu mendapat rangking satu. "Saya lupa nama panggilannya, yang jelas dulu kita panggil dia bukan dengan nama Rahmat," kata ibu saya.

Pak Rahmat tidak bercerita banyak perihal namanya. Apalah arti sebuah nama, katanya. Dan nama-nama seperti Star Book, Kinisilam terutama Pak Rahmat pemilik cafe, tak pernah absen di kepala saya. Hari berikutnya, perbincangan saya dengan Iksan kawan saya itu memberikan nama-nama baru yang menarik : Ulam Sulam, Picah Beling, Terbit Tenggelam.

Dan perihal nama pula, saya mengubah nama blog saya ini dari sekedarkolom menjadi spasisatu dari sekian nama yang ada. wassalam. | Foto Logo : gregoriuseldo.blogspot.com |

Comments

Popular posts from this blog

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Menyelamatkan Kapal Kayu di Sunda Kelapa