Repelita yang Berubah Bentuk


Masih ingat dengan Repelita? Di jaman Soeharto Repelita atau rencana pembangunan lima tahun masih cukup akrab di masa tahun 1990-an. Kalau saya tak keliru, saban lima tahun juga keluar sebuah buku yang cukup tebal disingkat GBHN atau Garis Besar Haluan Negara.  Bukunya setebal rata-rata novel Harry Potter. Yang membedakan tentu isinya, yang kala itu mau dihafal juga sangat membosankan. Dihafal, karena tuntutan sekolah pada masa saya di masa 1994-1998. 




Buku ini sebenarnya tidak wajib bagi siswa SMP atau SMU semasa saya, namun isinya terlihat komplit sekadar pelengkap pelajaran PMP kepanjangan Pendidikan Moral Pancasila atau sebagai pelengkap pelajaran PPKN kepanjangan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 

Di dalam GBHN itulah garis besar pembangunan negara dijalankan berdasarkan keputusan presiden dan ditetapkan MPR. Belajar PPKN atau PMP sungguh menyesatkan pada masa itu. Karena pendidikan moral menurut saya ya moral saja. Bukan dengan embel-embel lain. Kalau toh ada pancasila ya mbok dijelaskan ia hanya sebagai ideologi saja yang tak mesti dipuja dan puji. 

Di dalam buku tebal semacam GBHN yang njelimet itu, komplit disertai Pancasila, Undang-undang dasar 1945 dan ketetapan-ketetapan MPR. Semasa sekolah, hapalan UUD 1945-lah yang menjadi penting, dan tentu saja pancasila. Selebihnya, ketetapan MPR bikin pusing karena berlembar-lembar tebal dan bikin mumet. 

Semasa itu, saya punya buku GBHN namun lupa GBHN tahun berapa. Buku itu, warisan kakak saya, yang menggunakannya semasa sekolah SMU hingga kuliah karena sepertinya menjadi pegangan ketika mengikuti penataran P4 (lupa kepanjangannya) di kampusnya. 

Sampai hari ini saya menganggap buku GBHN mubazir karena penerbitannya yang cukup tebal dan peruntukannya tidak pada mestinya. Seharusnya ya, GBHN menjadi pelajaran mahasiswa hukum saja di kampus. Atau pelajaran untuk mahasiswa magister pemerintahan. 

GBHN di masa kini serupa dengan peraturan presiden yang ditetapkan berdasarkan rencana-rencana kerja pemerintahan baik jangka panjang maupun menengah. Kalau dalam rencana rencana pembangunan lima tahun tak berjalan sesuai koridor yang direncanakan, maka ada garis besarnya agar tak melenceng, kalau tak keliru itulah gunanya GBHN. 

lantas apa pula Rencana Pembangunan Lima Tahun itu? Repelita di masa Soeharto, hanya menggarisbesarkan titik-titik pembangunan secara universal. Misalnya, Pembangunan Lima Tahun pertama atau Pelita I, 1 April 69 – 31 Maret 74, menekankan pada pembangunan bidang pertanian. 

Pelita II, 1 April 74– 31 Maret 79: Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelita III. 1 April 79 – 31 Maret 84 Menekankan pada Trilogi Pembangunan. Pelita IV 1 April 84 – 31 Maret 89: Menitik beratkan sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Pelita V 1 April 89 – 31 Maret 94: Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.  

Pertanyaannya ada berapakah Repelita dicanangkan semasa Soeharto? Ckckckck. Tidak perlu dijawab, ini bukan pertanyaan EBTANAS bukan pula pertanyaan SPMB. Repelita yang dicanangkan masa Soeharto apakah terealisasi atau tidak tak pernah, terekspose detil dan lebih lanjut. Atau dugaan, saya pembangunan itu hanya terekspose pada masa rapat-rapat usai lima tahunan menjabat dimana saat itu akan muncul Pak Harmoko yang saban malam di TVRI, mengucapkan kestabilan harga cabai dan harga tomat dalam acara Laporan Sidang Kabinet dibingkai Laporan Khusus. Membosankan, seolah pembangunan lima tahunan diukur dengan kestabilan harga Cabai dan Tomat di pasar tradisional.  

Sekarang ini Repelita telah berubah bentuk dalam bahasa kerennya MP3EI atau kepanjangan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (cukup panjang memang). Kalau dahulu Repelita bersifat sentralisasi karena anggarannya semua ada di pemerintah pusat, maka MP3EI menjelma makin canggih. Peran pemerintah diperkecil, peran swasta diusahakan diperbesar. 

Lantas, dimana peran masyarakat yang bukan swasta macam masyarakat kecil? Pemerintah melalui MP3EI hanya mengembangkan pembangunan berdasarkan potensi daerah yang dibagi menjadi enam koridor diantaranya Koridor Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Papua-Maluku serta Bali-Nusa Tenggara. 

Sebenarnya, jika mengingat kebutuhan daerah, infrastruktur sudah barang mati yang menjadi kebutuhan. Persoalannya, infrastruktur bagaimanakah itu. Infrastruktur berat seperti jalan, jalan tol, jalan layang, jembatan, bandara, pelabuhan sepertinya menjadi kebutuhan utama yang rata-rata disodorkan pemerintahan setempat. 


Infrastruktur, kata pemerintah, bisa memicu perekonomian suatu daerah menjadi lebih bergairah dan lebih hidup. Benarkah? Bagaimana jika infrastruktur itu sendiri menjadi ancaman yang mengubah pola hidup masyarakat yang pancasialis ini. Ada banyak yang berubah, misalnya lahan kosong dibanguni gedung bertingkat atau jalan aspal berbeton, lahan sepak bola di kelurahan kota berkurang, tempat mancing ditumbuhi tanaman berkangkung sisa dihitung jari.Pada akhirnya apakah Indonesia harus berubah atau kalau memang berubah, berubah yang bagaimana? 

Berubah yang berkeadilan barangkali. Mari perbanyak kantong-kantong kawanan, kelompok-kelompok, komunitas serta sekumpulan sosial yang bisa mempengaruhi pemegang kuasa negeri ini. Kalau bukan kita siapa lagi.. 

salam hijabers...#eh..
---cat: foto buku saya comot di google tentang GBHN

Comments

Popular posts from this blog

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Minat itu harus dilatih