Arsitektur Belanda di Pecinan



Kawasan pecinan di Makassar telah ada sejak zaman pendudukan Belanda. Pada masa itu, pemerintahan kolonial sengaja mengatur kawasan sedemikian rupa dan dekat dengan pusat pemerintahan kolonial. Pada 1930-an, Belanda memberikan jabatan penting untuk mengatur administrasi warga Tionghoa. Kepada pejabatnya disematkan pangkat mayor dan kapitain.



Menurut peneliti arsitektur rumah tua, Sudjar Adityawidjaja, Belanda saat itu menganggap warga Tionghoa sebagai mitra dagang. "Karena itu, kalau kita lihat tokoh-tokoh Cina pada masa itu, rumahnya banyak dipengaruhi arsitektur Belanda atau bergaya Eropa," kata dia.

Dari Jalan Jampea hingga Jalan Sangir mudah ditemukan arsitektur bergaya Eropa. Salah satunya adalah rumah keluarga Mayor Thoeng di Jalan Bacan. Salah seorang keturunan Mayor Thoeng, Ricky Tunger, mengatakan rumah yang ditempatinya diperkirakan sudah berumur 150 tahun. Jika dilihat dari depan, rumah tiga lantai ini masih tampak asli. Biasanya rumah bergaya Eropa memiliki ventilasi berukuran besar dengan jendela dua pintu.

Sudjar mengatakan rumah bangsawan saat itu memiliki halaman di bagian tengah. "Dijadikan ruang sosial, tempat berkumpul bersama keluarga besar," katanya. Menurut dia, rumah-rumah tua itu memiliki bangunan dasar yang sangat kuat. Ketebalan dindingnya bisa mencapai 30 sentimeter.

Selain itu, bukaan pada bagian atap rumah dibuat lebar agar sirkulasi udara mengalir lancar. "Karena itu, rumah batu zaman Belanda di kawasan pecinan selalu terasa sejuk. Tidak hanya jarak lantai ke plafon yang cukup tinggi, tapi juga karena bukaan yang terletak di bagian atap," ujarnya.

Seperti rumah di kediaman Mayor Thoeng. Di lantai tiga terdapat ruangan dengan jendela berukuran 1 x 2 meter. Jendela ini tak jauh dengan jarak atap yang berbentuk pelana kuda. Menurut Ricky, dulu bagian loteng rumah itu ditempati para pembantu.

Rumah keluarga Thoeng bukan satu-satunya rumah tua di pecinan. Di depannya juga terdapat rumah tua dengan model serupa. "Itu juga rumah tua, tapi sudah dimodifikasi dengan penambahan pagar rumah," kata Ricky. Ukurannya lebih kecil dibanding rumah keluarga Thoeng. Terasnya dibatasi dinding dan kolom berprofil, seperti gaya rumah Eropa.

Ada lagi rumah tua di Jalan Bacan, yang berusia sekitar 100 tahun. Halamannya luas, sekitar 4 x 10 meter. Rumah ini milik kerabat Mayor Thoeng, yang dikenal dengan sebutan Kapitan Thoeng. "Saya sudah lupa berapa usia rumah ini. Tapi kata ibu saya, kami masih keturunan kapitan," kata Lily, yang kini bermarga Tan, pemilik rumah. Kapitan Thoeng, seperti halnya Mayor Thoeng, adalah pejabat administrasi di kawasan pecinan pada zaman kolonial.

Tak hanya di Jalan Bacan, rumah dengan arsitektur peninggalan Belanda bisa dijumpai di Jalan Lombok, tepatnya di PT Tawon Jaya, Jalan Bonerate, dan Jalan Jampea. Di Jalan Jampea, terdapat rumah tua model Belanda dengan jendela lebar dan kosen berwarna hijau. Dulu rumah ini adalah paviliun sebuah hotel bernama Hotel Grand. Kini di lokasi itu dibangun gedung Bank Rakyat Indonesia.

Sudjar mengatakan, rumah di Jalan Jampea itu adalah satu-satunya rumah tua yang masih bergaya arsitektur Belanda. "Kalau pernah membaca Bumi Manusia karya Pramoedya, saya selalu membayangkan seperti itulah rumah Minke," kata dia sembari menyebut salah satu tokoh dalam tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.


---Tulisan ini dbuat pada 03 Oct 2011 (Ket Foto Comot Google)

Comments

Popular posts from this blog

Thoeng dan Pecinan di Makassar

Tjoen Tek Kie Nama Toko Obat Kuno di Jalan Sulawesi

Menyelamatkan Kapal Kayu di Sunda Kelapa